Kami bertiga adalah anak-anak pendatang baru di daerah ini. Suasana di sekitar terlihat sepi, hanya sedikit anak-anak seusia kami yang keluar rumah. Di tengah waktu, kami saling berkenalan satu sama lain dan dengan cepat menjadi akrab. Suatu malam, kami bertiga berkumpul di lapangan voli yang sudah tidak digunakan lagi. Lapangan itu terlihat terlantar dan gersang, ditumbuhi rumput ilalang tinggi. Hanya ada satu lampu yang redup menerangi lapangan tersebut. Sementara itu, orang tua kami sedang tidak ada di rumah. “Daripada hanya diam terdiam, lebih baik kita bermain petak umpet yuk,” ajakku kepada Ayu dan Dini. “Yuk, seru tuh, tapi ini kan sudah malam,” jawab mereka. “Gapapa, sekali-sekali kok,” balasku. “Tapi kita hanya bertiga, kurang seru,” sahut Dini. Sejenak kami berpikir dan saat itu juga ada seseorang seusia kami yang melintas tidak jauh dari lokasi kami. “Eh, itu ada teman kita. Sepertinya dia juga anak baru,” kataku. “Iya, ayo ajak dia biar tambah ramai,” balas Ayu. “Iya, betul tuh,” timpal Dini girang. Singkat cerita, kami memanggilnya dan berkenalan. Namanya Selvi, dia terlihat kurus dan tampak tidak dirawat oleh orang tuanya. Tatapannya kosong, seperti anak yang broken-home. Tubuhnya dipenuhi luka-luka lebam. Kami mencoba bertanya tentang keluarganya, tetapi dia hanya diam. Ya sudahlah, mungkin dia sedang menghadapi banyak masalah, pikirku. Akhirnya, kami berempat sepakat untuk bermain. Kali ini giliran Selvi yang menjadi pencari. Kami bertiga berpencar mencari tempat persembunyian yang aman dari jangkauan Selvi, agar dia kesulitan menemukan kami. Sementara Selvi terus menghitung dari satu hingga sepuluh, tapi suaranya serak dan pelan. Tapi sudahlah, namanya juga anak yang sengsara, hehe.. Maaf ya Selvi, aku tidak bermaksud menghina kamu, pikirku sambil terus mencari tempat persembunyian yang aman. Tampaknya Selvi telah selesai menghitung, dia pasti sedang mencari kami sekarang. Sementara Ayu dan Dini pasti sudah menemukan tempat persembunyian masing-masing. Saat aku bersembunyi, aku mendengar suara orang menangis dan tertawa tidak jauh dari tempatku. Suara itu semakin jelas di telingaku. Aku penasaran dan mencoba menemukannya. Sungguh aku sangat terkejut, ternyata ada seorang ibu yang sedang jongkok di sana, dan di sebelahnya ada gundukan tanah. Apa yang dia lakukan di sini malam-malam? tanyaku pelan. Ibu itu terlihat aneh. Pakaiannya compang-camping dan rambutnya terlihat kusut. Semakin aku mendekat, aku melihat ada sesuatu yang dia peluk. Aku semakin takut, tapi aku tetap melihat ke arahnya. Ternyata itu adalah batu nisan yang dia ambil dari sebuah kuburan di dekatnya. Tanpa sadar, aku telah memasuki area kuburan. Aku merinding saat itu, tapi aku tetap berani. “Bu, apa yang ibu lakukan di sini?” tanyaku sambil memegang bahunya. Dia hanya terus menangis dan sesekali tertawa. Tiba-tiba dia melemparkan batu nisan itu tepat di depanku dan berlari secepat kilat sambil tertawa-tawa meninggalkanku. Aku heran dan memperhatikan batu nisan itu. Ternyata nama di atasnya adalah SELVI. Aku tidak yakin dan ingin tahu tanggal lahir dan tanggal meninggalnya. Ternyata cocok, usianya sama dengan kami. Aku terpaku, mataku tidak berkedip dan tubuhku kaku. Aku pun berlari mencari Ayu dan Dini, ingin memberitahu mereka hal ini. Aku berada di tengah lapangan sambil memanggil Ayu dan Dini. Saya berpikir untuk meminta bantuan warga, tapi mereka belum tentu mengenal saya, jadi saya membatalkan niat itu. Saya semakin memperkuat suara saya memanggil mereka, tapi sia-sia. Saya mencoba lagi, tapi dalam keheningan, saya mendengar suara rumput ilalang terinjak seolah ada seseorang yang keluar dari persembunyiannya. Mungkin itu Ayu dan Dini. Saya berlari kecil sambil bersembunyi di balik tumpukan papan di tepi lapangan. Saya terus mengawasi rumput ilalang itu. Saya menyadari bahwa ternyata Selvi sudah meninggal, dan tadi itu pasti hantunya, hiii… Semoga mereka tidak apa-apa, pikirku. Saya semakin jelas melihat, ternyata yang keluar bukan Ayu atau Dini, melainkan seekor musang. Hahaha… Saya tertawa dalam hati. Suasana kembali tenang dan sunyi, tiba-tiba saya mendengar jeritan dan ternyata Ayu sedang berlari tergopoh-gopoh ke tengah lapangan. Saya memanggilnya pelan dan mengajaknya bersembunyi dengan saya. “Tina, Tina, Selvi hantu, Tina…” katanya sambil menatapku dengan ketakutan. Dia berkeringat dingin. “Sssttt… Iya, Yu, saya sudah tahu. Dini, Dini ada di mana?” tanyaku sambil menutup mulut Ayu. “Aku tidak tahu,” jawabnya. Kami diam sejenak. Udara terasa semakin hening dan sepertinya semua orang sudah tidur. Kami menunggu selama setengah jam, tapi Dini tidak muncul. Kami semakin khawatir dan cemas, sambil terus merapatkan tubuh kami di balik tumpukan papan. Kami terus melihat sekeliling, siapa tahu Dini sudah keluar dari persembunyiannya. “Kamu kentut ya, Yu?” tanyaku sambil menutup hidungku. “Apa? Tidak kok, kenapa sih?” balasnya. “Jadi siapa? Kamu mencium bau kencing gak?” tanyaku semakin ketakutan. “Iya sih, nanti kamu yang kentut ya?” balas Ayu. “Tidak ada kok,” jawabku sambil merinding. “Jadi siapa???” kami bertanya serentak sambil melihat ke belakang. “Waaaaa… hantu!!!” kami berteriak sekuat tenaga. Ternyata arwah Selvi tadi berada di belakang kami sambil jongkok. Matanya putih dan wajahnya pucat, menatap kami dengan tajam. Kami berlari sambil berpegangan tangan ke arah rumput ilalang itu. Kami terjatuh karena menginjak sesuatu, dan kami melihat bahwa itu adalah tubuh Dini. Ya, Dini telah meninggal dengan cara yang mengerikan. Tubuhnya penuh luka bekas cakaran dan darah berceceran di mana-mana. Matanya terbelalak tajam